Kamis, 18 Desember 2008

Satu Bilik bersama Para Penipu

Dari deretan nama caleg, saya cuma kenal beberapa saja. Dan perjumpaan yang beberapa itu sayang sekali kurang berkesan.
  • Perjumpaan pertama, sang caleg berpendapat: "... untuk apa kita sendiri yang patuh peraturan kalau yang lain melanggarnya ...".
  • Perjumpaan kedua: "... hari gini jangan bawa-bawa idealisme ...".
  • Perjumpaan ketiga: (kebetulan curi dengar saat sang caleg diskusi dengan pegawai pemko): "... bang ada proyek nggak...".
Pagi ini saya dengar dialog RRI tentang biaya reses anggota DPRD sebesar Rp 25 juta per orang untuk satu minggu.

Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, tahun 2009 saya akan selama beberapa menit berada dalam satu bilik dengan selembar kertas daftar nama dan foto. Bagaimana mungkin jari ini akan membuat pilihan jika saya merasa sedang berhadapan dengan para penipu.

Minggu, 31 Agustus 2008

Merdeka!



Achmad Soekarno, 1945:
Di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan.

Melampaui Diri Sendiri

20 Oktober 2008. Saya serius meluangkan waktu nonton TVRI acara dialog kebangkitan nasional. Pembicaranya adalah orang-orang yang saya kagumi. Dr. Anhar Gonggong dan Prof. Yohannes Surya. Masih ada juga orang-orang baik dalam komunitas penduduk Indonesia yang menyebalkan ini.
Ada satu catatan yang dalam membekas. Ialah pernyataan Pak Anhar Gonggong bahwa penyebab kebangkrutan Indonesia adalah ketidakmampuan bangsa Indonesia (terutama pemimpinnya) untuk mempunyai visi yang "MELAMPAUI DIRINYA SENDIRI".
Tipikal visi orang-orang Indonesia berhenti pada kepentingan dirinya sendiri. Pejabat merencanakan program kerja secara seksama agar kekayaan mengalir ke kas DIRINYA SENDIRI. Orang-orang bercita-cita untuk kebahagiaan hari tua DIRINYA SENDIRI dan KELUARGANYA SENDIRI.
Juga ketika berdoa: "Selamatkan AKU (DAN KELUARGAKU) dari Api Neraka", "Sejahterakan kehidupan AKU dan KELUARGAKU". Seolah semua sumber daya alam, termasuk energi Tuhan ingin disedot secara egois untuk DIRI SENDIRI.
Para Guru dan Dosen mengadakan penelitian, lagi-lagi untuk kejayaan DIRINYA SENDIRI. Tidak akan ada penelitian dan karya ilmiah jika tidak didanai. Kalaupun penelitian itu diselenggarakan, ujungnya adalah upacara "masturbasi para cendekiawan": mengadakan presentasi dan pengukuhan gelar keilmuan dengan tepuk tangan untuk DIRI SENDIRI. Tidak akan ada upaya benar-benar menerapkannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Padahal Sahabat Nabi: UMAR, RA tidak akan makan kalau ada rakyatnya yang masih lapar.

Jumat, 29 Agustus 2008

Doa di Pesawat Terbang

Untuk mengusir jemu selama di angkasa, saya selalu mencari-cari bahan bacaan. Buku pertama: Petunjuk Keselamatan. Bosan. Di baliknya, ada buku kecil dan tipis berisi kumpulan doa berbagai agama. Karena berada di muka tempat duduk pesawat, sangat mungkin berisi tentang permohonan keselamatan kepada Tuhan. Saya mencermati satu per satu. Sampai akhirnya berhenti di halaman doa agama Budha. Isinya: "Semoga semua makhluk berbahagia". Sangat pendek untuk seseorang yang sangat mengharap pertolongan Tuhan untuk bisa tetap hidup sampai tujuan. Dalam slot waktu dan jatah halaman yang pendek, pembuat doa agama Budha memilih tema yang sangat simpatik. Alih-alih memikirkan keselamatan pribadinya, Ia dahulukan doa untuk keselamatan semua makhluk. Untuk sejenak, saya termenung.

Senin, 10 Maret 2008

Kopi dan Perjuangan yang Sia-sia

Menikmati seni. Lagu-lagu balada Paul Young. Cerpen-cerpen Franz Kafka. Ah, paling sedap ditemani secangkir kopi. Betapa kesenian membuat warna-warni kehidupan. Namun, ada rasa bersalah ketika menikmati kisah penderitaan manusia. Seperti ketika tertawa nonton akting Charlie Chaplin tentang si lapar yang terpaksa menggigiti sepatunya sendiri karena butir-butir salju terlalu perih menusuk lambung.

Demikianlah, ada rasa pilu tatkala menyimak senandung Paul Young tentang kisah pemuda yang menyusuri Rio Grande menuju gemerlap Amerika. Atau, membaca cerita Kafka tentang si orang desa yang menempuh perjalanan dan penantian untuk bertemu sang HUKUM.

Seorang pemuda -demikian Paul Young mengawali nyanyiannya- sejak kecil mendengar kisah tentang sebuah negeri yang jalan-jalannya berlapis emas. Dan negeri itu hanyalah di seberang garis perbatasan. Maka, suatu hari, dengan berbekal harta dari kampungnya, berangkatlah ia ke negeri impian. Namun, nasib mengantarnya ke sisi muram kota. "You can lose more than you ever hope to find." Terlambat untuk berpikir pulang, karena "you pay the price to come this far".

Dalam dongeng Kafka, si orang desa akhirnya sampai di gerbang pertama dari berlapis-lapis gerbang menuju HUKUM. Tiap gerbang dijaga orang kuat. Makin ke dalam, makin tinggi besar pula sang penjaga. Si orang desa tidak pernah bisa melewati penjaga gerbang pertama. Walau menanti bertahun-tahun, hingga ia tidak tahu mana yang berubah: apakah sekelilingnya menjadi gelap ataukah matanya yang mengelabui pandangannya. Harta yang dibawanya dari desa tak cukup meluluhkan hati penjaga. Hanya jawaban: "Saya hanya menerima saja agar Anda tidak merasa belum berusaha sekeras-kerasnya". Ia ingin pulang tetapi pancaran dari dalam pintu hukum itu amat terang bagi kegelapan di sekelilingnya. Dalam damba, si orang desa menemui ajalnya.

Betapa perjuangan yang sia-sia.

Terima kasih, istriku, untuk kopi pagi yang hangat dan tidak terlalu manis.