Selasa, 26 Juni 2007

Krisis Etika

Saya sering mempersepsikan kejadian sekitar sebagai satu populasi peristiwa dunia. Memang mahal dan lama -untuk tidak mengatakan mustahil- untuk memahami sifat-sifatnya secara tepat. Jadi, saya hanya bersandar pada kenyataan sampel-sampel acak di sekitar kehidupan saya sendiri.

Mempertimbangkan suasana hubungan antar manusia di Indonesia, saya merasakan krisis etika. Sebuah suasana tempat kita sulit menemukan orang-orang santun, mengapresiasi orang lain secara manusiawi.

Izinkan saya secara bebas mengartikan etika dengan sopan santun. Jadi, judul sketsa ini boleh diubahsuai menjadi Krisis Sopan Santun.

Seorang rekan membayar pajak kendaraan bermotor. Oleh petugas dimintai uang. Rekan saya menanyakan berapa sih tarif yang resmi. Si petugas malah mengancam "mau diurus pajaknya atau tidak!".

Waktu menyeberang jalan saya was was. Mobil dan motor bukannya memperlahankan laju, justru terus ngebut. Saya jadi kesal: "selera membunuhmu tinggi sekali".

Suatu ketika saya naik angkutan umum. Para pria mengepulkan asap rokok. Kabin mobil jadi penuh asap rokok. Ibu dan bayi dalam gendongannya jadi diharuskan ikut serta mengisapnya. Lalu sopirnya membuang botol Aqua menjadi sampah di jalanan.

Akhirnya saya berani bertanya: "Kenapa anda tidak mengindahkan etika". Jawabnya: "Kalau yang lain melanggar etika, kenapa kita yang patuh sendiri".

Mengikuti filsafat Nietzsche, "Kebenaran manusia adalah kekeliruan-kekeliruan yang tak terbantahkan", saya khawatir jawaban pembelaan diri itu lama-lama menjadi kebenaran publik. Sehingga saya harus mencari bantahannya.

Alhamdulillah, suatu ketika saya mengikuti dakwah Syeikh Mustafa Mas'ud -saya mengagumi beliau karena ceramah-ceramahnya memuaskan secara intelektual, berhasil memadukan dakwah agama dengan psikologi dan sosiologi- dan berhasil menemukan pencerahan.

Beliau bertutur: "Tuhan menguji kualitas seseorang dengan menghadirkan orang-orang dengan kualitas berlawanan di sekitarnya." Jadi, Tuhan menguji orang kaya dengan menghadirkan orang-orang miskin di sekitarnya. Tuhan menguji orang jujur dengan menghadirkan orang-orang tidak jujur di sekitarnya. Tuhan menguji orang bermoral baik dengan menghadirkan orang-orang bermoral buruk di sekitarnya.

Jadi kalau anda membela diri dengan mengatakan
"Mengapa saya tidak korupsi kalau yang lain korupsi" atau
"Mengapa saya tidak PUNGLI kalau yang lain PUNGLI" atau
"Mengapa saya antri kalau yang lain menyerobot antrian",
maka itulah nilai ujian anda di mata Tuhan.


Immanuel Kant menyadari kehadiran Tuhan dengan "Melihat Bintang di Langit dan Merasakan Bisikan Moral dalam Hati". Konsekuensinya: saat kita mengabaikan bisikan moral dalam hati, saat itulah kita ATHEIS secara praktis.


Masih relevan menyitir syair Ronggowarsito:
"Memasuki zaman EDAN.
Kalau tidak ikut EDAN tidak kebagian.
Akibatnya kelaparan.
Namun, sebaik-baiknya orang EDAN,
Masih lebih baik orang yang ELING dan WASPADA".

2 komentar:

panggiring mengatakan...

Pak Abdul- Anaknya baik dan lucu :), harusnya ini di muat di koran misalnya batampos or posmetro or Tribun mBatam. biar di baca orang-orang sableng itu :)

kira-kira begitu apa ya?
regards,

panggiring, senengnya musik Jazz lahirnya bulan juli at http://alasroban.web.id

okiaryono mengatakan...

Yang miskin buang sampah (puntung) rokok sembarangan, eh yang kaya buang tisunya ke jalan dari mobil kinclongnya.

Lapangan Kodam Brawijaya Sby yang mungkin seluas 4 kali lapangan sepak bola (kalo malam jadi pasar kaget) susah banget cari tempat sampah.

Yang jorok makin jorok, yang (mau) sadar jadi pusing.Terpaksa tas & saku celana saya banyak bungkus permen, tisu & plastik kemasan air mineral.

Salut dg blog Anda. Barakallahu laka

"Sesungguhnya mukmin dg budi pekerti yang baik dapat mengejar derajat orang yang selalu berpuasa & shalat" (HR. Abu Daud)